16.1.10

Aku dan Sosok Bernama Sepi

Detik ini aku keluar dari persembunyianku
Mencoba masuk ke dunia mereka
Ikut tersenyum dan tertawa
Serta sesekali ikut bersuara
Tapi entah kenapa...
Semua terasa sulit
Walau berusaha keras untuk mendengar
Dan otakku mulai bekerja untuk mencerna
Aku tetap tak bisa
Mereka begitu jauh...
Begitu berbeda...
Atau jangan2 aku yang berbeda?
Apa aku ini alien yang terdampar dimuka bumi?
Atau makhluk purba sisa2 dari masa lampau?
Entahlah!...
Jadi aku kembali
Masuk kedalam duniaku
Menjalani hidup seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi
Terpojok, meringkuk, Sendiri...
Lalu kegelapan mulai menyelimuti
Dan SEPI ini perlahan mulai membungkus tubuhku (lagi)
...

14.1.10

Cita-cita Dalam Nadi (Cerpuen Tandem)

Sedetik saja piring itu sudah kosong. Hanya ada beberapa butir nasi sisa kesadisannya barusan. Dia memang kelaparan. Selain pekerjaan kuli dan tukang becak, ternyata perjalanan jauh juga cukup melelahkan dan membakar kalori. Bahkan lalapan bebek tersebut sepertinya hanya mengisi salah satu bagian perutnya saja. Buktinya, dengan cuek ia menyomot satu buah roti lagi.

"So... Apa yang kita bahas kali ini?" cewek kecil didepan Lexa membuka konferensi tingkat tinggi tersebut.
"Aku ingin membahas soal cita-cita" Jawab Lexa dengan mulut penuh roti.
"Hemmm... Cita-cita siapa? Cita-citaku atau cita-citamu?"
"Tentu saja cita-citaku. Kan aku yang berniat curhat. Jika kamu mau ikut menyuarakan cita-citamu lebih baik di akhir cerita saja. Jangan mengganggu khotbah panjangku."
"Oke oke..."

Lexa memperbaiki duduknya. Mencari posisi yang pas untuk bicara. Malam ini sepertinya bakalan panjang. Sudah lama ia menginginkan saat2 seperti ini. Mengobrol panjang lebar dengan sahabatnya itu. Membahas semua yang terjadi dalam hidup ini.

"Lebih baik kamu yang menanyaiku" kata Lexa dengan posisi duduk tegap seperti sedang melakukan yoga.
"Jadi apa cita-citamu?" Lana mulai mengajukan pertanyaan pembuka.
"Awalnya aku ingin jadi dokter." Jawab Lexa tegas, "aku ingin bisa membantu orang lain. Bukankah menyelamatkan nyawa orang termasuk salah satu tugas Power Rangers?" Jelasnya percaya diri. Ia memang selalu percaya bahwa dirinya merupakan salah satu anggota Power Rangers yang ditugaskan untuk menjaga perdamaian dunia. Hanya saja selama ini ia sedikit terhambat dengan masalah kostum.
"Lalu?"
"Lalu aku sadar kalau aku tak akan bisa jadi dokter. Aku benci darah. Aku benci rasa sakit.Aku bisa pingsan karenanya."

"Lalu aku sempat ingin jadi sutradara." Sahut Lexa lagi. Kali ini sayup-sayup terdengar alunan musik Panggung Sandiwara-nya Godbless dari kamar sebelah.
"Sutradara seperti Upi-nya Serigala Terakhir atau James Cameron-nya Avatar?"
"Apa bedanya? Mereka sama-sama membuat cerita kan?" Lexa balik tanya, "Aku ingin membuat ceritaku sendiri. Menempatkan orang2 pada tempat yang kuinginkan. Aku bisa menentukan aku akan jadi pemeran utama, cameo, stuntman, atau hanya dibalik layar saja."
"Lalu?"
"Ternyata jadi sutradara juga butuh biaya besar. Selain sekolah, peralatan dan ongkos untuk membuat satu buah film tidak cukup hanya dengan bermodal uang di celengan ayamku."

"Jadi aku beralih ingin jadi penulis."
"Sama-sama mebuat cerita, tapi biaya lebih terjangkau ya?" Tebak Lana mengerti sambil manggut2.
"Iya, tapi bukan itu tujuannya. Menulis lebih bebas. Aku lebih bisa mengeksploitasi daya khayalku. Aku bisa menciptakan apapun, bahkan yang sulit digambarkan dengan pikiran kita."
"Seperti Sandra Brown, Dewi Lestari, atau Mohammar Emka?"
"Tidak. Aku ingin menulis ceritaku sendiri."
"Tapi bagaimana kalau tulisanmu tidak menjual? Memang butuh modal kecil, tapi untung yang diambil juga lebih sulit dari yang kita bayangkan."
"Aku menulis, bukan menjual."
"Lalu?"
"Lalu aku sadar, menulis bukan cita-cita. Menulis adalah hobi. Bukankah selama ini aku sudah menulis?"
"Hemmm..."

Lexa melemparkan pandangannya keluar jendela. Menatap bintang-bintang yang bertaburan menghiasi malam. Begitu banyak, hingga tak terhitung jumlahnya. Dia merasa menjadi salah satu dari bintang itu. Hanya seorang diantara jutaan orang lainnya. Tak terlihat, tak tersentuh. Dia hanya cewek biasa dengan hidup yang biasa2 saja. Cewek yang selalu berkata ya saat sekitarnya berkata ya, dan berkata tidak saat orang lain juga berkata tidak.

Andai saja ia bisa sedikit lebih terang. Andai saja ia bisa melakukan sesuatu agar lebih terlihat...

Sesuatu seperti nyala lampu bohlam muncul dikepalanya. Dia tersenyum lebar dan menatap Lana mantap. Lana mengernyitkan alis melihat perubahan wajah sahabatnya itu.
"Aku tahu ingin jadi apa. Cita-cita yang sejak lama mengalir dalam nadiku tanpa aku sadari."
"Apa?"
"Aku ingin jadi... AKU!"
"WHAT?"
"Ya, AKU!..." Ulangnya, kali ini dengan suara menggema dan sedikit echo...(aku...ku...ku...ku...)
"Sudah cukup aku jadi orang lain. Aku ingin jadi diriku yang sebenarnya. Bukankan itu adalah dasar dan inti dari semua ini? Ini takdir yang sudah mengalir dalam darahku. Dengan menjadi aku, aku bebas melakukan apa saja. Apakah aku akan jadi dokter, sutradara, atau penulis...
"Atau tidak menjadi apapun..." sahut Lana ironis. Lexa memegang pundak sahabatnya itu.
"Berhentilah melakukan sesuatu demi orang lain. Mari kita menyenangkan diri kita sendiri. We can't be something, if we just do nothing..."

Lana tersenyum. Ia sedikit mengerti maksud teman baiknya itu. Sedikit sih, memang terkadang ia sulit mengikuti jalan pikiran Lexa yang terlalu aneh. Tapi saat ini ia tahu maksudnya baik. Lexa ingin berubah. Dan ia pun merasa sudah waktunya ia melakukan hal yang sama...

"Untuk AKU!" Kata Lana lantang sambil mengangkat gelasnya. Lexa menyeringai sambil tak urung mengangkat roti yang dipegangnya.
"Untuk AKU!..."

"Tapi Lan," wajah Lexa tiba2 berubah serius. Toast yang siap dilakukan tadi otomatis gagal terjadi," kalau bercita-cita jadi AKU, kita harus kuliah mengambil jurusan apa yah?"

(To Be Continued)

***

Previous Episode Pertapaan Sore
Cerita aslinya bisa dibaca disini

Sebuah Nama di Yahoo Messenger

Aku terpana membuka YM-ku. Kutatap nama itu di friend list. Nama yang sudah lama sekali selalu bertuliskan Offline. Sekarang menyala, pertanda pemiliknya ada diujung sana.
Nafasku seakan terhenti saking kagetnya. Sama sekali tak menyangka ia akan muncul lagi. Hari ini, detik ini, saat ini... Mengingat beberapa waktu lalu, cukup lama aku menunggunya. Menunggu dan menunggu status itu akan menyala. Menghabiskan waktu untuk Online, dengan satu alasan yang super bodoh. Aku hanya ingin bicara dengannya...
Sampai suatu hari, semangat itu lenyap entah kemana. Mungkinkah ini yang disebut menyerah, atau putus asa? Aku hanya tahu, sudah tak ada lagi keinginan untuk menunggu. AKu sangat lelah... lelah hidup dalam penantian seperti itu.
Dan sekarang, tanpa aku inginkan, dia muncul. Apakah aku boleh merasa bahagia? Apakah ini berarti penantianku selesai sudah?
Perlahan aku mengetik sebuah kalimat, "Hai, gimana kabarnya?"...
Tapi sedetik kemudian aku hapus.
Aku mengetik lagi, "Hari ini banyak bintang ya?"...
Sambil menggeleng cepat, aku kembali menghapusnya.
"Masih ingat aku nggak?" Aku masih belum menyerah juga. Tapi tetap saja, perasaan nggak enak ini muncul sehingga aku menghapus kalimat itu (lagi).
Beberapa detik kedepan, aku menulis dan menulis... Beberapa kalimat yang mampir dikepalaku. Dan tentu saja, kalimat itu langsung aku hapus sebelum sempat kukirim ke seseorang diujung sana.
"Anakmu umur berapa?"
"Sekarang kerja dimana?"
"Tahu lagunya Coldplay yang paling baru?"
"Pernah nggak sekali saja kamu menyesal soal aku?"
"Bisakah kta ketemu?"
"Mengapa tak membalas emailku?"
"Aku kangen sama kamu..."

Dan berbagai pertanyaan bullshit lainnya...
Aku mulai cemas. Mengapa begitu sulit untuk menyapanya? Apakah ini karena aku tak siap sama sekali? Terlalu banyak pertanyaan diotakku, sampai2 aku bingung harus mengutarakan yang mana. Dia muncul begitu cepat tanpa aku inginkan... Aku ingin bertanya! Aku ingin mencaci! Aku ingin bicara!...
Aku kembali mengetik, tapi kali ini aku benar2 mengklik tombol Send...
""
......
......
......
1 menit berlalu... Tak ada balasan apapun dari seberang sana. Kemudian, status itu kembali tak menyala lagi. Meninggalkan aku yang sedang terpukul dengan begitu mudahnya.
Sambil menarik nafas aku membaca tulisan disebelahnya...

OFFLINE





<To: Bintang Jatuh, apa kabarmu diujung sana?>

Pengecut Sejati

Ia bersuara lagi
Kali ini dengan tiga tanda seru dibelakangnya
Dengan roman keras, dan suara lantang
Menyuarakan keinginannya
Untuk menginjakku (lagi)

Aku diam
Tak berkutik
Tak bergerak
Tak bicara
Tak mendengar
Tak bernafas

Mereka bilang aku pengecut
Atau lebih kasar lagi Pecundang!
Apa mereka tahu yang sebenarnya terjadi?
Apa mereka mengerti bahwa ini bukan rasa takut?
Atau ketiadaan sebuah nyali?
Ini hanya kebesaran hati
Berjuang agar tak membuat segalanya menjadi lebih rumit

Terbesit keinginan untuk membentak
berontak...
mencaci...
anarkis...
dan segala macam bentuk kemarahan

Tapi sebuah pikiran meredam itu semua
Bayangan tentang masa depan
Dan semua kehancuran,
Yang muncul hanya karena emosiku semata
Jadi aku hanya bisa menarik nafas panjang
Sambil mengumpat dalam hati
"Sialan!!"

13.1.10

Bintang Hidup (Part II)

Bintang tak selalu ada diatas sana. Begitu cepatnya malam berganti pagi, dan aku tak bisa melihat bintang itu lagi. Dunia memang terus berputar, tapi apa secepat ini dia datang dan pergi begitu saja? Datang dengan membawa begitu banyak perubahan dan teori tentang bintang, jazz, angin di pantai, dan Coldplay… Lalu pergi tanpa jejak, tanpa ucapan selamat tinggal atau semacamnya.
“Kita tak akan pernah bisa bersama. Kau juga tahu itu… aku punya hidup, begitupun kamu. Jalan kita benar-benar berbeda.” Ujarnya suatu malam, dibawah saksi para bintang. Aku menatapnya tak percaya.
“Begitu mudah kamu mengatakannya?”
“Dia tak akan melepaskanku. Kau juga tak akan begitu saja lepas dari cowokmu kan? Kita sama! Yang kita jalani ini salah.”
“Kau tahu ini salah, tapi kau yang memulainya lebih dulu! Bukan aku… Jadi jangan memaksaku untuk berhenti begitu saja!” Sahutku marah, “Kamu bisa punya dua wajah. Satu kau tunjukkan didepanku, dan satu lagi didepannya. Tapi aku tak bisa! Aku tak bisa menjadi naïf…”
Aku meminum kopi yang sekarang sudah dingin itu, lalu bersandar dan kembali menatap bintang. Kuhitung bintang itu satu-persatu. Sekarang sudah mulai berkurang. Sepertinya malam bertambah larut. Dan rupanya akan datang hujan, awan-awan hitam mulai bergerak seolah memakan bintang-bintang kecil itu satu persatu.
Bintang itu nanti akan pergi. Seperti juga dia… Pergi begitu saja dari kehidupanku. Aku masih ingat kata-katanya suatu hari saat kami mendengarkan lagu Coldplay diteras rumah sambil menatap bintang seperti biasanya.
“Malam ini bintangnya banyak banget. Sampai aku tak bisa menghitungnya. Tapi coba perhatikan, bintangnya hilang satu. Bintang yang selama ini kau bisikkan lirih di dadaku… Tapi tak apa-apa, akan aku tunjuk bintang lain yang paling terang, sambil berharap suatu saat kita bisa meraihnya dengan tangan kita berdua. Dan hanya kita yang tahu…”
Orang bodoh pun tahu apa maksud dari kata-kata itu. Tapi entah karena apa dia mengatakannya. Ingin jujur, atau cuma ingin orang bodoh sepertiku kege-eran sendiri. Namun aku yakin, dia pasti ingin jujur sekecil apapun perasaan itu.
Melihat bintang malam ini membuatku hatiku merasa bimbang. Semuanya seperti tergambar dengan jelas dimataku. Segala kejadian, segala kalimat, bahkan segala gerakan… Jadi bagaimana bisa aku melupakannya jika bintang masih saja muncul tiap malam? Sedangkan aku juga selalu tertarik untuk duduk di teras melihat dan mengingatnya seperti ini? Mungkin benar, aku tak ingin melupakannya. Aku ingin, tapi tak pernah bersungguh-sungguh melupakannya. Aku bahagia di saat mengenangnya seperti ini.
“Hidupku sudah berubah. Aku sudah tahu apa tujuan hidupku sekarang. Jika dulu aku hanya bisa meraih pergelangan tanganku sendiri, sekarang ada orang lain yang mengulurkannya untukku. Aku tak lagi menari diatas bugil… duniaku kini lebih berwarna… Aku yakin aku akan bahagia.”
“Meskipun itu dengan melupakanku?” tanyaku pelan sambil bergetar. Ia membuang muka. Aku tahu apa jawabannya.
“Kamu tahu sejak awal, semua ini salah. Kita tak boleh seperti ini. Aku punya tujuan hidup, kamu juga… Meskipun itu dengan melupakanmu, aku harus meraih tujuanku itu…”
“Kamu bisa melupakanku begitu saja?”
“Ini salah…”
“Kalau memang yang kulakukan dan yang kurasakan ini salah, aku tak akan pernah mau jadi benar!!!” Sahutku. Ia tersentak.
“Jangan bodoh, kamu tak tahu apa yang sudah kamu katakan.”
“ Kalau memang aku ini bodoh, jadi super bodoh pun tak apa-apa asal aku bisa merasa bahagia!!!” Dia menarik nafas panjang seolah menyerah pada nasibnya.
“Bahagiamu bukan padaku… Mengertilah! Bintang itu sudah gak ada.” Ujarnya lirih.
“Ada!!... Bintang itu masih disini.” Aku menunjuk dadaku, “kalaupun hilang, kamu janji akan mencarikan bintang yang paling terang…”
“Shit!”
Dan disinilah aku sekarang. Duduk diteras dengan secangkir kopi hangat sambil memetik gitar, dan melihat ke arah bintang yang bercahaya di langit. Sambil terus mengutuki diriku yang cukup bodoh untuk ia permainkan. Hah…tapi seperti yang pernah kubilang, jadi super bodoh pun tak apa-apa.
Dia boleh saja bilang pada mereka semua, kalau rasa itu tak pernah ada padanya. Bilang saja ia memperhatikanku sebagai teman, atau apalah! Atau bilang saja ia tak pernah mengenalku. Tapi yang tahu cuma Tuhan, dan aku… tentang apa yang pernah terjadi. Kenangan itulah yang menjadi pegangan buatku saat mereka mencemoohku sebagai perebut suami oranglah! Atau cewek penggodalah! Atau juga cewek penipu yang sudah menipu hidupnya… Mereka boleh bilang begitu, tapi kenyataannya hanya kupegang sendiri. Dulu dia pasti tahu, tapi hidupnya sekarang berubah kan? Mungkin sudah tak ada lagi namaku. Aku hanya bintang kecil yang sedetik mampir masuk ke hidupnya, dan sedetik kemudian lenyap begitu saja.

Aku slalu berdiri menunggumu
Dikala engkau terbang, dikala engkau jatuh
Sampai mati kukan setia


“Itukah lagu yang sekarang selalu ia nyanyikan untukmu? Tak bolehkah aku ikut menyanyikannya sedikit saja?...”
Disaat kau dipuja, disaat kau dihina
Sampai mati ku kan membela
Kau tetap bintangku...
Bintang semakin lenyap. Hanya segumpal awan hitam yang memenuhi langit malam. Tapi bintangku tetap disini. Bercahaya walaupun hanya cahaya kecil. Dan aku akan selalu menjaga bintang itu… tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun…
Kau bintang di hatiku…

12.1.10

Percakapan di Sore Hari (Mr. Bean)

Dua orang cewek sedang berbincang-bincang di depan kamar kost-nya. Perbincangan ini terjadi door to door, alias, dari pintu ke pintu. Karena masing2 duduk didepan pintu kamarnya sendiri.
Suluh: Mbak, kapan hari aku lihat filmnya mr. Bean yang baru itu lho...
Saya: Mr. Bean Holiday tah?
Suluh: Ehm.. Lupa aku judulnya
Saya: Yang bawa kamera itu kan?
Suluh: Iya. Pokoknya yang nyuting2 itu (nyuting: shooting)
saya: Ya itu judulnya... Lucu nggak menurutmu?
Suluh: Lumayan lucu juga. Napa mbak?
Saya: Aku seh nggak suka. Guyonannya terlalu garing. Mungkin kurang kreatif. Soalnya hampir semua kelucuannya udah ada di film Mr. Bean yang serial itu.
Suluh: Masak seh?
Saya: Masih mending yang dulu. Tentang lukisan itu... Itu cukup lucu.
Suluh: Oh, yang monalisa itu ya?
Saya: Nggak tau Mona siapa... pokoknya lucu
Suluh: Yang itu juga lucu mbak... yang Johnny English!
Saya: Tapi itu bukan Mr. Bean
Suluh: Mr. Bean kok yang maen!
Saya: Iya yang maen. Tapi nggak jadi Mr. Bean. Disitu dia jadi Johnny English
Suluh: Lho... Tapi sing maen kan sama si Robert Pattinson
Saya: ........... (mikir... Kok ada yang aneh ya???)

7.1.10

Mulai Muncul Gejala Kebosanan Dengan Facebook

Beberapa waktu lalu, aku pernah ngerasa hobiiii banget sama yang namanya facebook. Dimana saja dan kapan saja kayaknya nggak lengkap tanpa update status di facebook. Saking seringnya, sampai kami berdua bisa diibaratkan bak amplop dan perangko, rokok dan asbak, telunjuk dan idung (kalo ngupil maksudnya)... Bahkan, keranjingan facebook udah bikin Hubby-ku mencak2 gara2 merasa aku cuekin.
Waktu itu emang facebook sedang rame2nya. Mungkin sampe sekarang masih rame di beberapa wall, tapi kenapa aku ngerasa facebook semakin sepi saja ya? Terutama di wall-ku yang emang jarang banget update.
Sekarang paling banter aku update sehari sekali. Padahal, dulu isa sampe puluhan kali. Eits! Tapi jangan salah, statusku bukan sekedar status tak penting dan tak berguna lho ya? dalam satu status minimal ada 30-an comment yang menghiasinya. Cieee... emang kayaknya waktu itu aku lagi laris2nya ya? Tapi setelah merit gini, pasaran sedikit menurun. Wkkwkkwkw.
Tapi entah kenapa, sekarang aku melihat facebook tak semenarik dulu. Sepi, sunyi, senyap kayak kuburan. Kadang masih update status juga seh, tapi malas banget balas komen. Lebih seneng meloncat dari satu dinding ke dinding yang lain *spiderman kaleee... meninggalkan jejak berupa komen.
Sebenarnya ada apa dengan facebook??? *sama sekai tidak terinspirasi oleh film sensasional yang dibintangi Nicholas Saputra dan saya sendiri :P Sepertinya tak ada yang bisa menjawabnya. Jadi saya hanya bisa menjalani bagaikan angin, menunggu apakah Facebook akan kembali meriah atau malah mati pet!
Kita tunggu saja... Sementara menunggu, sepertinya akan lebih menyenangkan jika kita mencari wahana hiburan lain. Misal, Twitter ^_^

Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman. Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Pertapaan Sore (Cerpuen Tandem)


Done!, seru perempuan itu. Ia meletakkan sebuah ember kosong. Seluruh isinya sudah selesai digantungkan ke beberapa gantungan baju di tempat pengeringan yang sengaja dibuat sendiri oleh pemilik kos-kosan di atas loteng yang cukup luas itu. Ia menggeser kursi kayu, dan mulai mendudukinya.

Aku selalu suka saat seperti ini. Perempuan itu tersenyum, memandang langit yang mulai memberikan tanda gelap ke bumi. Belum terlalu gelap, hanya beberapa waktu menuju gelap. Yap, waktu favoritnya menghabiskan waktu luang di atas loteng kos-kosan yang lumayan luas itu, waktu paling menyenangkan mem-pause segala kegiatannya, menyejukkan otak dan menepikan pemikirannya. Ia selalu mempunyai khayalan seperti seorang Albus Dumbledore yang mencoba menghilangkan permasalahan diotaknya dengan melepas satu per satu ubannya ke dalam sebuah cawan magic, Lana bukan seorang Dumbledore, cukup langit di sore hari, cukup baginya menepikan segala penat letih pikirannya.

hmmmphh...., sebuah nafas panjang. Ia menutup matanya sebentar, merasakan angin-angin sore menerpa kulitnya, menyapa pori-pori yang letih itu, memberikan hawa cukup segar bagi sebuah kepenatan hari.

103 hari lagi, ya. 103 hari. Apakah benar ?, semuanya akan terjadi pada kurun waktu tersebut? semua akan berubah. Semua akan lebih baik. Semua akan lebih indah. Itu hanya sebuah ramalan picisan, Lana. Yang semua orang bisa memprediksikan. Sejak kapan kau percaya hal-hal tahayul seperti itu, dimana logika yang kau bangga-banggakan itu. Kemana larinya semua ideologisme itu, hanya sebuah ramalan 103 hari dan blammm... kau melupakan identitas dirimu...sigh!!!. Pikiran Lana seperti menggema. Berulang, diulang-ulang jutaan kali. Ah sudahlah, meskipun terjadi biarlah. Kenapa aku harus terus membingungkannya, toh hanya sebuah ramalan, Ramalan ONLINE (apalagi). Bahkan akupun bisa membuatnya dalam hitungan jam, tinggal menyambungkan beberapa logika, klik , jadilah web ramalan online. Tapi mengapa 103 ? ada apa dengan tiga digit angka tersebut ? Mengapa jika diruntut semuanya menjadi kesimpulan yang membenarkan, 103 hari lagi, tiga bulan lagi apakah masa depanku benar-benar tergantung pada hitungan waktu itu. Lana bergumam sendirian, sambil membuka kembali matanya dan memandang ke penjuru langit sore itu.

Sebuah ketenangan yang selalu dia tunggu setiap hari. Andaikan setiap sore dirinya bisa meluangkan waktu seperti saat ini, tidak bersama lusinan mesin-mesin dan orang-orang penggila code-code perintah mesin.

Ia termenung. Me-rewind segala yang terjadi seharian ini, semingguan ini, sebulanan ini, setahunan ini, dan bahkan seumuran hidupnya ini. Apa dan kemana ia masih bingung. Yang dia tahu hanya saat ini, saat ini berada di bawah langit sore ini. merasakan hembusan angin. Damai.

Damai. Damai ini akan berapa lama ?. Aku ingin selamanya. Perempuan itu bergumam sambil kembali menutupkan matanya, kembali merasakan desiran angin sore.

Tidak lama, pertanyaan Lana terjawab. Lana bukan paranormal. Ia hanya memilki ketajaman indra -perasa-, dan perasaannya kali ini... , ia sedang diintip oleh seseorang. "mbak lagi ngopo ? topo tah ? ihiy, ayu2 senengane topo nang ndukur gentheng wkwkwkwkwkkk...". Sh*t suara laki-laki cempreng itu memecah keheningan pertapaan Lana. Dirinya merasa terganggu dan terintimidasi, kekuasaannya di atas loteng dikudeta oleh laki-laki berkolor hijau dengan singlet putih di seberang rumah itu.

"Lan, lan..."...tekkk..tek..tek.... Suara pintu pagar. Lana mendengar suara perempuan yang dikenalnya dari bawah.
"mbak Lana ada yang nyarik-in lo!, mbak!!" cetus seorang perempuan muda lain dari lantai bawah.

Seketika Lana meluncur, menuju lantai bawah. Dari kamar kosnya ia bisa melihat seorang perempuan yang sedang menunggu dirinya membukakan pintu pagar. Lana menyambar kunci yang tergantung di mulut pintu dan segera membukakan pintu pagar bagi sahabat karibnya itu.

"Kukira kau tak jadi kemari ? langsung dari kantor ? kok nggak sms dulu ?"
Perempuan obyek interview itu hanya diam saja. Mereka berdua hanya berjalan menuju kamar kos yang lumayan luas itu.

Lana mengambil gelas dan menuangkan air putih dari galon air. Mengambil sesuatu dari Lemari dan meletakkannya di piring.
"Kau perlu makan sesuatu, makanlah beberapa lembar roti ini, bahkan untuk berbicara pun kau tak sanggup". Lana kembali menyambar onggokan kunci dan telepon selulernya yang tergeletak di meja. Aku cari makanan yang lebih manusiawi dulu. Kau perlu makanan yang lebih manusiawi dari itu untuk menceritakan banyak hal padaku. Seperti biasa ? Lalapan Bebek Goreng ? Lombok 2 ? teh anget muanis ???.. ".

Lexa hanya tersenyum dengan tenaga terakhirnya, sambil menjejalkan roti hidangan penyambutan.

Lana bergegas mengambil langkah darurat menuju warung sebelah rumah kosnya. Ia mengecek telepon selulernya, menemukan sms dari Lexa dan... 10 buah missed call dari nomor yang tak dikenal. Lana mengerutkan alis, mempercepat langkahnya.

-to be continued-

Cerita aslinya ada disini
Sedangkan cerita sebelumnya bisa dicek disini atau disini

KPKSPP - Prolog

Ini hanyalah kumpulan cerita-cerita jayus nan gokil, tentang sekelompok anak yang menyebut diri mereka KPKSPP. Perlu diketahui, kelompok ini bukanlah kelompok belajar, group vocal, atau geng motor seperti yang sekarang lagi in. Mereka hanyalah sekumpulan manusia biasa tidak penting yang hidup ditengah liarnya dunia yang penuh sandiwara ini. *lebih jelasnya, dengarkan lagu Panggung Sandiwara-nya Godbless. Mereka tidak suka menarik perhatian, tapi seringkali tingkahnya justru mengundang perhatian berbagai pihak.
Satu lagi yang tidak kalah penting, semua tokoh di cerita ini nyata adanya. Hanya diberi nama samaran, tempat samaran, kejadian samaran, wajah samaran, dan samaran2 lainnya agar tidak menyerupai acara reality show. Plus tidak lupa juga diberi bumbu pemanis sana-sini agar lebih punya Taste.
So… Selamat membaca, dan masuk kedalam dunia KPKSPP

6.1.10

Bintang Hidup (Part I)

Aku menarik nafas panjang sambil menatap bintang-bintang yang bercahaya itu. Bintang-bintang itu mulai bermunculan satu-persatu, seperti tak ada yang mau ketinggalan ikut menghiasi malam.
Malam bagaikan sebuah kertas hitam, yang membiarkan siapapun untuk mengisinya. Entah bulan, entah bintang-bintang, atau juga kembang api yang berwarna-warni itu. Malam hanya pasrah akan nasibnya sebagai malam. Bahkan terkadang, tak satupun dari cahaya-cahaya cantik itu mengisinya, melainkan gumpalan-gumpalan awan hitam yang kelam.
Aku tak menyukai malam seperti itu. Aku lebih suka malam yang cerah, dengan berbagai warna dan cahaya menghiasinya. Khususnya bintang. Berjuta bintang yang berkelip-kelip seperti kunang-kunang. Sungguh indah, setidaknya bagiku.
Dan malam ini, seperti malam-malam lainnya. Aku duduk diteras dengan secangkir kopi hangat sambil memetik gitar. Benar-benar suasana paling romantis bukan? Melihat bintang-bintang itu dalam suasana seperti ini, memiliki suatu kepuasan tersendiri.
Orang mungkin heran melihatku. Apa yang dilakukan seorang gadis malam-malam begini diteras rumah, membawa gitar dan terus melihat keatas? Hahaha… Pemandangan yang aneh. Apa mereka percaya saat aku bilang, aku sedang mengagumi bintang? Bahkan berbicara padanya?
Bintang-bintang itu indah. Dan hidup… Menurutku merekalah yang membuat malam begitu cantik seperti ini. Besar, kecil, semua bintang itu tentu punya arti. Kadang aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, Mengapa kemunculan mereka tak selalu sama tiap malam? Mengapa mereka selalu berubah-ubah? Mengapa mereka menjadi paling bersinar seolah menantang semua yang ada di dunia? Atau juga mengapa mereka bersembunyi seolah malu akan semua mata yang tertuju padanya?… Bintang tentu juga punya hati, punya rasa, punya keinginan…
Begitulah aku melihat bintang-bintang. Mungkin salah satu dari bintang itu adalah aku. Tapi entah yang mana, aku tak tahu. Seperti orang-orang melihatku. Aku cuma gadis biasa seperti gadis-gadis lainnya. Tak penting, tak terlihat… Tak ada satupun dariku yang terlihat lebih dari orang lain. Aku biasa, aku sama… Dan aku punya hati.
Mungkin perasaan itulah yang membuatku suka pada bintang. Perasaan sama-sama membutuhkan perhatian orang lain. Tapi entah sejak kapan perasaan itu muncul. Aku sudah lupa. Atau bahkan sengaja melupakannya. Aku tak mau mengingat masa laluku. Aku hanya ingin menatap jauh kedepan. Kearah bintang…
“Satu hal yang yang aku suka dalam hidup, adalah bintang. Jika aku sedang terpuruk menikmati kekalahanku. Saat aku merasa aku tak punya harapan lagi. Bintang itu seakan berbicara, memelukku, dan memberikan sinarnya hanya untukku. Seolah dia katakan, bahwa masih ada cahaya di ujung sana. Jalanku tak berhenti sampai disini.” Aku masih mengingat kalimat itu dengan jelas. Aku juga masih mengingat orang yang mengatakannya. Wajahnya memang sudah tak begitu jelas di ingatanku, tapi setiap gerakan, ucapan, bahkan nafasnya seperti baru saja kurasakan sedetik yang lalu. Saat ia mengatakan kalimat itu, aku hanya menatapnya takjub. Bukan hanya terpesona oleh kata-katanya yang dalam, tapi juga ekspresi yang ia tampakkan saat mengatakannya. Aku melihat kejujuran disana. Begitu berartikah bintang itu baginya?
“Begitukah?” Tanyaku. Ia mengangguk dan menunjuk bintang yang paling terang.
“ Kamu lihat bintang itu? Indah bukan? Dia menunjukkan bahwa masih ada bintang yang lebih terang. Masih ada cahaya untukku.” Dia menatapku dalam-dalam, “ Ini pertama kalinya bintang itu muncul. Tau kenapa? Karena itu kamu. Bintang itu muncul, saat aku mengenalmu. Kamu udah membuatku hidup, dengan cahayamu…”
Aku tersenyum kecut mengingatnya. Rayuan kuno, tapi jujur saja memang senjata yang cukup ampuh untuk meluluhkanku. Kadang aku masih bertanya-tanya, apakah aku masih begitu berarti baginya? Apakah aku masih tetap bercahaya untuknya?

Aku selalu bernyanyi
Lagu yang engkau ciptakan, yang kau nyanyikan
Dan aku selalu ikuti
Semua cerita tentangmu, hari-harimu…


Aku menyanyikan lagu Bintang Hidupku-nya Ipank itu lirih. Soundtrack salah satu drama tragis yang pernah aku alami. Aku baru sadar, kegemaranku menyanyikan lagu itu dan menjadikannya lagu favoritku bersamaan dengan kegemaranku terhadap bintang. Hah, memang keduanya mengingatkanku pada satu sosok yang sama… Sosok yang saat ini aku tak tahu entah dimana.

Kau jadi inspirasiku, semangat hidup
Dikala aku sedih, dikala aku senang
Saat sendiri dan kesepian
Kau bintang dihatiku...


To Be Continue...

2.1.10

Tahun Baru, Segalanya Baru

Teeettt!!!.. Duaaarrr! (suara terompet diakhiri dengan ketusan kembang api).
Hemm... Posting perdana di tahun 2010. Sebenarnya ini sudah aku tulis tanggal 1 kemaren, tapi karena terhambat koneksi internet akhirnya aku baru bisa publish sekarang. Tapi nggak ada pengaruhnya juga kan? Kan aku nulis ini juga tanpa ada wejangan2 dari mbah pinter harus publish hari apa, jam berapa, dan harus siap sesaji apa saja. Hayah!
Malam taun baru kali ini berlalu biasa saja. Jika tahun2 sebelumnya rumahku selalu rame dan disulap menjadi villa dadakan (secara... semua saudaraku yang berdomisili di kota besar semacam Surabaya, entah kenapa selalu memilih untuk berlibur dirumah. Alasannya, mau lihat pesta kembang api katanya), tahun ini sepi2 saja. Nggak ada acara melekan, bakar2an, atau nonton kembang api bersama. Malah, pukul 11 kami sudah dilanda kantuk, dan pergi mengukur kasur masing2...
Tapi, pada saat jarum jam menunjukkan pukul 12 tepat. Pesta kembang api dimulai. Letusan ada dimana2. Sampai2 aku dan suamiku ngomong dengan bahasa isyarat saking bisingnya. Karena gatal pengen ngeliat, akhirnya seperempat jam kemudian aku keluar rumah. Ternyata diluar sudah ada mommy dan aunty-ku. Jadi kami bertiga melihat kembang apinya dari halaman rumah sampai sejam kedepan. Lama banget kan?
Setelah sejam, baru daddy dan uncle-ku pulang. Mereka berdua memang pamit keluar melihat pesta kembang api dari jam 11 tadi. Barulah kami semua masuk, dan melanjutkan mimpi yang sempat tertunda tadi.
Dan tahu nggak tadi pagi aku bangun jam berapa? Jam 7!!! Wah, ini rekor banget. Padahal bangun jam 6 aja udah termasuk siang n jarang banget karena aku pasti kena omel sama mommy-ku. Kecuali di Surabaya lho... Kalau pas di kost sih, aku biasa bangun seenakku alias, siang banget. Kan nggak ada orang2 yang bisa mengganggu gugat tidur suciku. Hehehehe...
Akhirnya... hari pertama di tahun 2010 ini aku jalani diiringi hujan. Dari pagi aku buka mata, sampai detik ini aku nulis alias pukul 7.25 malem, hujan masih membasahi rumahku tercinta. Tapi tentu saja ini nggak membuat semua rencanaku batal. Sudah lama aku merencanakan kegiatan selama long weekend ini, dan ini tentu saja nggak bisa dibatalin begitu saja, apalagi hanya karena hujan!
OK! pertama, aku dengan diantar oleh ojek setiaku, my hubby :P pergi ke salon buat potong rambut. CUkup sulit juga, karena hampir semua salon tutup. Baru sadar kalau hari ini tanggal merah, jadi pasti banyak yang holiday. Hehehehe... Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, plus mengitari kota sebanyak 2 putaran, akhirnya pilihan jatuh pada satu salon bertitel, SALON HANNA. Lalu, potonglah aku...
Rasanya segeeeerrrr banget. Udah lama aku memendam keinginan untuk mengganti model rambut. Rambutku sekarang sudah terlalu panjang dan tak berbentuk gara2 dulu niru model rambutnya Boncel (BCL), potongan bob dengan rambut bagian depan panjangnya lebih extreme. Sempet bingung juga kali ini aku potong kayak gimana. Setelah mencari nspirasi sana sini, plus saran dari orang2 terdekat (teman dekat, tetangga dekat, keluarga dekat), akhirnya aku nggak memilih satu pun saran dari mereka! Hahahaha... Nggak taunya, keputusan kuambil setelah melihat acara Inbox, dan melihat The Virgin! Aku jatuh hati pada rambutnya MITA!!! Keren begete gitu lowh!... Dan, beginilah rambutku sekarang.
Bukankah ini merupakan sebuah langkah baik mengawali tahun? Banyak hal yang harus aku perbarui di tahun ini. Ambisi baru, Planning baru, Semangat baru... Dan semua ini aku awali dari hal yang cukup besar, Rambut baru!
Mari kita jalani tahun 2010 ini dengan penuh semangat! Tak usah diambil hati, apa yang dibicarakan oleh Ki Anu, Mama Anu, atau Suhu Anu... Ramalan2 seperti itu boleh saja. Tapi hidup kita, tak ada yang berhak meramalkannya. Apa yang terjadi, kita sendiri yang mengaturnya, tentu saja dengan ijin Tuhan.
Happy Long Weekend!!! ^_^