7.1.10

Pertapaan Sore (Cerpuen Tandem)


Done!, seru perempuan itu. Ia meletakkan sebuah ember kosong. Seluruh isinya sudah selesai digantungkan ke beberapa gantungan baju di tempat pengeringan yang sengaja dibuat sendiri oleh pemilik kos-kosan di atas loteng yang cukup luas itu. Ia menggeser kursi kayu, dan mulai mendudukinya.

Aku selalu suka saat seperti ini. Perempuan itu tersenyum, memandang langit yang mulai memberikan tanda gelap ke bumi. Belum terlalu gelap, hanya beberapa waktu menuju gelap. Yap, waktu favoritnya menghabiskan waktu luang di atas loteng kos-kosan yang lumayan luas itu, waktu paling menyenangkan mem-pause segala kegiatannya, menyejukkan otak dan menepikan pemikirannya. Ia selalu mempunyai khayalan seperti seorang Albus Dumbledore yang mencoba menghilangkan permasalahan diotaknya dengan melepas satu per satu ubannya ke dalam sebuah cawan magic, Lana bukan seorang Dumbledore, cukup langit di sore hari, cukup baginya menepikan segala penat letih pikirannya.

hmmmphh...., sebuah nafas panjang. Ia menutup matanya sebentar, merasakan angin-angin sore menerpa kulitnya, menyapa pori-pori yang letih itu, memberikan hawa cukup segar bagi sebuah kepenatan hari.

103 hari lagi, ya. 103 hari. Apakah benar ?, semuanya akan terjadi pada kurun waktu tersebut? semua akan berubah. Semua akan lebih baik. Semua akan lebih indah. Itu hanya sebuah ramalan picisan, Lana. Yang semua orang bisa memprediksikan. Sejak kapan kau percaya hal-hal tahayul seperti itu, dimana logika yang kau bangga-banggakan itu. Kemana larinya semua ideologisme itu, hanya sebuah ramalan 103 hari dan blammm... kau melupakan identitas dirimu...sigh!!!. Pikiran Lana seperti menggema. Berulang, diulang-ulang jutaan kali. Ah sudahlah, meskipun terjadi biarlah. Kenapa aku harus terus membingungkannya, toh hanya sebuah ramalan, Ramalan ONLINE (apalagi). Bahkan akupun bisa membuatnya dalam hitungan jam, tinggal menyambungkan beberapa logika, klik , jadilah web ramalan online. Tapi mengapa 103 ? ada apa dengan tiga digit angka tersebut ? Mengapa jika diruntut semuanya menjadi kesimpulan yang membenarkan, 103 hari lagi, tiga bulan lagi apakah masa depanku benar-benar tergantung pada hitungan waktu itu. Lana bergumam sendirian, sambil membuka kembali matanya dan memandang ke penjuru langit sore itu.

Sebuah ketenangan yang selalu dia tunggu setiap hari. Andaikan setiap sore dirinya bisa meluangkan waktu seperti saat ini, tidak bersama lusinan mesin-mesin dan orang-orang penggila code-code perintah mesin.

Ia termenung. Me-rewind segala yang terjadi seharian ini, semingguan ini, sebulanan ini, setahunan ini, dan bahkan seumuran hidupnya ini. Apa dan kemana ia masih bingung. Yang dia tahu hanya saat ini, saat ini berada di bawah langit sore ini. merasakan hembusan angin. Damai.

Damai. Damai ini akan berapa lama ?. Aku ingin selamanya. Perempuan itu bergumam sambil kembali menutupkan matanya, kembali merasakan desiran angin sore.

Tidak lama, pertanyaan Lana terjawab. Lana bukan paranormal. Ia hanya memilki ketajaman indra -perasa-, dan perasaannya kali ini... , ia sedang diintip oleh seseorang. "mbak lagi ngopo ? topo tah ? ihiy, ayu2 senengane topo nang ndukur gentheng wkwkwkwkwkkk...". Sh*t suara laki-laki cempreng itu memecah keheningan pertapaan Lana. Dirinya merasa terganggu dan terintimidasi, kekuasaannya di atas loteng dikudeta oleh laki-laki berkolor hijau dengan singlet putih di seberang rumah itu.

"Lan, lan..."...tekkk..tek..tek.... Suara pintu pagar. Lana mendengar suara perempuan yang dikenalnya dari bawah.
"mbak Lana ada yang nyarik-in lo!, mbak!!" cetus seorang perempuan muda lain dari lantai bawah.

Seketika Lana meluncur, menuju lantai bawah. Dari kamar kosnya ia bisa melihat seorang perempuan yang sedang menunggu dirinya membukakan pintu pagar. Lana menyambar kunci yang tergantung di mulut pintu dan segera membukakan pintu pagar bagi sahabat karibnya itu.

"Kukira kau tak jadi kemari ? langsung dari kantor ? kok nggak sms dulu ?"
Perempuan obyek interview itu hanya diam saja. Mereka berdua hanya berjalan menuju kamar kos yang lumayan luas itu.

Lana mengambil gelas dan menuangkan air putih dari galon air. Mengambil sesuatu dari Lemari dan meletakkannya di piring.
"Kau perlu makan sesuatu, makanlah beberapa lembar roti ini, bahkan untuk berbicara pun kau tak sanggup". Lana kembali menyambar onggokan kunci dan telepon selulernya yang tergeletak di meja. Aku cari makanan yang lebih manusiawi dulu. Kau perlu makanan yang lebih manusiawi dari itu untuk menceritakan banyak hal padaku. Seperti biasa ? Lalapan Bebek Goreng ? Lombok 2 ? teh anget muanis ???.. ".

Lexa hanya tersenyum dengan tenaga terakhirnya, sambil menjejalkan roti hidangan penyambutan.

Lana bergegas mengambil langkah darurat menuju warung sebelah rumah kosnya. Ia mengecek telepon selulernya, menemukan sms dari Lexa dan... 10 buah missed call dari nomor yang tak dikenal. Lana mengerutkan alis, mempercepat langkahnya.

-to be continued-

Cerita aslinya ada disini
Sedangkan cerita sebelumnya bisa dicek disini atau disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar