14.1.10

Cita-cita Dalam Nadi (Cerpuen Tandem)

Sedetik saja piring itu sudah kosong. Hanya ada beberapa butir nasi sisa kesadisannya barusan. Dia memang kelaparan. Selain pekerjaan kuli dan tukang becak, ternyata perjalanan jauh juga cukup melelahkan dan membakar kalori. Bahkan lalapan bebek tersebut sepertinya hanya mengisi salah satu bagian perutnya saja. Buktinya, dengan cuek ia menyomot satu buah roti lagi.

"So... Apa yang kita bahas kali ini?" cewek kecil didepan Lexa membuka konferensi tingkat tinggi tersebut.
"Aku ingin membahas soal cita-cita" Jawab Lexa dengan mulut penuh roti.
"Hemmm... Cita-cita siapa? Cita-citaku atau cita-citamu?"
"Tentu saja cita-citaku. Kan aku yang berniat curhat. Jika kamu mau ikut menyuarakan cita-citamu lebih baik di akhir cerita saja. Jangan mengganggu khotbah panjangku."
"Oke oke..."

Lexa memperbaiki duduknya. Mencari posisi yang pas untuk bicara. Malam ini sepertinya bakalan panjang. Sudah lama ia menginginkan saat2 seperti ini. Mengobrol panjang lebar dengan sahabatnya itu. Membahas semua yang terjadi dalam hidup ini.

"Lebih baik kamu yang menanyaiku" kata Lexa dengan posisi duduk tegap seperti sedang melakukan yoga.
"Jadi apa cita-citamu?" Lana mulai mengajukan pertanyaan pembuka.
"Awalnya aku ingin jadi dokter." Jawab Lexa tegas, "aku ingin bisa membantu orang lain. Bukankah menyelamatkan nyawa orang termasuk salah satu tugas Power Rangers?" Jelasnya percaya diri. Ia memang selalu percaya bahwa dirinya merupakan salah satu anggota Power Rangers yang ditugaskan untuk menjaga perdamaian dunia. Hanya saja selama ini ia sedikit terhambat dengan masalah kostum.
"Lalu?"
"Lalu aku sadar kalau aku tak akan bisa jadi dokter. Aku benci darah. Aku benci rasa sakit.Aku bisa pingsan karenanya."

"Lalu aku sempat ingin jadi sutradara." Sahut Lexa lagi. Kali ini sayup-sayup terdengar alunan musik Panggung Sandiwara-nya Godbless dari kamar sebelah.
"Sutradara seperti Upi-nya Serigala Terakhir atau James Cameron-nya Avatar?"
"Apa bedanya? Mereka sama-sama membuat cerita kan?" Lexa balik tanya, "Aku ingin membuat ceritaku sendiri. Menempatkan orang2 pada tempat yang kuinginkan. Aku bisa menentukan aku akan jadi pemeran utama, cameo, stuntman, atau hanya dibalik layar saja."
"Lalu?"
"Ternyata jadi sutradara juga butuh biaya besar. Selain sekolah, peralatan dan ongkos untuk membuat satu buah film tidak cukup hanya dengan bermodal uang di celengan ayamku."

"Jadi aku beralih ingin jadi penulis."
"Sama-sama mebuat cerita, tapi biaya lebih terjangkau ya?" Tebak Lana mengerti sambil manggut2.
"Iya, tapi bukan itu tujuannya. Menulis lebih bebas. Aku lebih bisa mengeksploitasi daya khayalku. Aku bisa menciptakan apapun, bahkan yang sulit digambarkan dengan pikiran kita."
"Seperti Sandra Brown, Dewi Lestari, atau Mohammar Emka?"
"Tidak. Aku ingin menulis ceritaku sendiri."
"Tapi bagaimana kalau tulisanmu tidak menjual? Memang butuh modal kecil, tapi untung yang diambil juga lebih sulit dari yang kita bayangkan."
"Aku menulis, bukan menjual."
"Lalu?"
"Lalu aku sadar, menulis bukan cita-cita. Menulis adalah hobi. Bukankah selama ini aku sudah menulis?"
"Hemmm..."

Lexa melemparkan pandangannya keluar jendela. Menatap bintang-bintang yang bertaburan menghiasi malam. Begitu banyak, hingga tak terhitung jumlahnya. Dia merasa menjadi salah satu dari bintang itu. Hanya seorang diantara jutaan orang lainnya. Tak terlihat, tak tersentuh. Dia hanya cewek biasa dengan hidup yang biasa2 saja. Cewek yang selalu berkata ya saat sekitarnya berkata ya, dan berkata tidak saat orang lain juga berkata tidak.

Andai saja ia bisa sedikit lebih terang. Andai saja ia bisa melakukan sesuatu agar lebih terlihat...

Sesuatu seperti nyala lampu bohlam muncul dikepalanya. Dia tersenyum lebar dan menatap Lana mantap. Lana mengernyitkan alis melihat perubahan wajah sahabatnya itu.
"Aku tahu ingin jadi apa. Cita-cita yang sejak lama mengalir dalam nadiku tanpa aku sadari."
"Apa?"
"Aku ingin jadi... AKU!"
"WHAT?"
"Ya, AKU!..." Ulangnya, kali ini dengan suara menggema dan sedikit echo...(aku...ku...ku...ku...)
"Sudah cukup aku jadi orang lain. Aku ingin jadi diriku yang sebenarnya. Bukankan itu adalah dasar dan inti dari semua ini? Ini takdir yang sudah mengalir dalam darahku. Dengan menjadi aku, aku bebas melakukan apa saja. Apakah aku akan jadi dokter, sutradara, atau penulis...
"Atau tidak menjadi apapun..." sahut Lana ironis. Lexa memegang pundak sahabatnya itu.
"Berhentilah melakukan sesuatu demi orang lain. Mari kita menyenangkan diri kita sendiri. We can't be something, if we just do nothing..."

Lana tersenyum. Ia sedikit mengerti maksud teman baiknya itu. Sedikit sih, memang terkadang ia sulit mengikuti jalan pikiran Lexa yang terlalu aneh. Tapi saat ini ia tahu maksudnya baik. Lexa ingin berubah. Dan ia pun merasa sudah waktunya ia melakukan hal yang sama...

"Untuk AKU!" Kata Lana lantang sambil mengangkat gelasnya. Lexa menyeringai sambil tak urung mengangkat roti yang dipegangnya.
"Untuk AKU!..."

"Tapi Lan," wajah Lexa tiba2 berubah serius. Toast yang siap dilakukan tadi otomatis gagal terjadi," kalau bercita-cita jadi AKU, kita harus kuliah mengambil jurusan apa yah?"

(To Be Continued)

***

Previous Episode Pertapaan Sore
Cerita aslinya bisa dibaca disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar