13.7.10

Aku, Kita dan Mereka [Cerpuen Tandem]

Jujur, Lexa tidak begitu suka minum teh. Dulu ia pernah merasa pusing karena terlalu banyak mengkonsumsi teh. Memang, teh bisa mencegah timbulnya kanker dan meningkatkan kesehatan gigi. Tapi efek protektif yang ditimbulkan dari "kolesterol jahat" yag dikandungnya bisa beresiko serangan jantung, katarak dan perkembangan arterosklerosis. Tapi malam ini dia memberi dispensasi. Karena dia sadar disini dia adalah TAMU yang harus ikhlas disuguhi apa saja oleh sang tuan rumah. Takutnya ntar saraf tersinggung Lana tercolek kalo dia menolak, lalu tega melakukan perbuatan yang keji dan sadis yaitu mengusir Lexa. Mau kemana Lexa malam-malam begini?...

Lexa tersenyum sendiri teringat pembicaraan mereka semenit yang lalu tentang mendirikan sekolah dan jurusan AKU,

"Namun ,...jika akan benar-benar kudirikan akan sangat sulit menemukan sertifikasi ISO dan akreditasi for SELF Major... a.k.a JURUSAN AKU wakakakakkkkkk..."
"Psiko!!!!!!!,...wkwkwkwkwkkkk"

Lexa sadar dia sedang berada di tempat yang tepat. Dia ingat dengan jelas bagaimana perasaannya dalam perjalanan kemari tadi. Ia terpojok, bingung, tak tahu arah, dan butuh pegangan. Tapi coba lihat sekarang, dia bukan hanya bisa tersenyum. Tapi juga bisa tertawa lepas. Karena itu ia hanya bisa mengangguk setuju ketika Lana menawarkan upacara minum teh. Sebagai ucapan terima kasih karena telah menghapus kepenatannya, ia tak mungkin menjelaskan panjang lebar teori tentang teh dan arterosklerosis tadi.

bip..bip...bip..bip... bip..bip... ponsel monophone milik Lana berbunyi riang. Dari sudut matanya, Lexa melihat perubahan wajah Lana saat membaca pesan singkat yang tertulis disana. Merasa tak punya hak untuk tahu, Lexa pun mengalihkan perhatian kepada ponselnya sendiri yang lebih monochrome dari milik Lana.

Beberapa detik yang menyiksa Lexa. Mereka berdua sibuk dengan keheningan masing-masing. Ada kekakuan diantara mereka, seakan sebuah tembok besar tiba-tiba muncul di ruangan persegi itu.

Jera mendera dengan tiba-tiba dalam benaknya. Mungkin ia salah terlalu mencari ketenangan itu dengan menggebu-gebu. Padahal tidak seharusnya ia melakukan ini semua. Benarkah ketenangan itu bisa ditemukan di suatu tempat? Mungkin jawabannya ya. Kadang hati pun butuh rekreasi. Jeda sesaat dari hiruk pikuk emosi yang menyerang nalar sehat. Mungkin ada benarnya ia menyingkir sejenak. Tapi melihat teman masa kecilnya itu... Ia bimbang. Tepatkah ia berada disini sekarang?

Seperti cinta, egois mungkin juga bisa buta. Lexa sadar ia terlalu egois dengan hanya memikirkan tentang masalahnya sendiri. Padahal, dunia ini terlalu luas untuk dijalaninya seorang diri. Banyak orang-orang disekitarnya yang lebih bermasalah. Tapi apakah ia sadar? Tidak. Selama ini hidup hanyalah tentang Lexa. Orang lain bagaikan pemeran figuran yang berlalu tanpa ada kesan sama sekali.

Lihat saja Lana... Sudah tergambar dengan jelas ekspresi anehnya saat membaca SMS itu. Dan Lexa tak tahu itu tentang apa. Sungguh naif sekali... Lexa selalu menyebut mereka Teman, padahal ia selalu menempatkan dirinya sebagai tokoh utama. Ia tak tahu Siapa pacar Lana, bagaimana kuliahnya, apa yang terjadi dalam hidupnya...? Dan itu karena dirinya yang tidak peka sama sekali. Lalu apakah dia pantas menyebut mereka teman? Sementara ia tahu dalam hubungan mereka tak ada Simbiosis Mutualisme sedikitpun?

Hidup ini bukan hanya tentang AKU, tapi tentang KITA dan MEREKA...

Lexa berjanji dia akan pulang besok pagi-pagi sekali...

(To Be Continued)
***

Baca episode sebelumnya  

Gambar dipinjam dari sini

1 komentar:

  1. hidup selalu membuat kita egois, namun bukankah egois membuat kita hidup ?

    BalasHapus